Kebijakan Energi

Evaluasi Kritis Kebijakan Energi di Indonesia

Pemikiran mengenai masa depan energi suatu negara banyak dipengaruhi oleh pendapat yang saling bertentangan, dan masing-masing menggambarkan pemikiran yang kontemporer. menurut Purnomo Yusgiantoro [1] bahwa pertama adalah pendapat yang pesimistis dimana negara maju atau berkembang akan menghadapi masalah minyak bumi, batubara dan gas (energi fosil). Sumber energi tersebut diperkirakan akan habis dengan cepat karena dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk dunia yang meningkat pesat yang berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan dan konsumsi energi dunia sehingga makin lama energi tersebut akan habis. Diperkirakan pada tahun 2045 jumlah penduduk dunia mencapai 9 Miliar jiwa, untuk itu diperlukan tambahan konsumsi energi sekitar 60 – 70 persen dari energi yang dihasilkan dunia saat ini, sehingga meningkatkan permintaan (rising demand) setiap negara.[2] Selain itu persoalan lain adalah menyangkut soal lingkungan, seperti eksplorasi batubara secara besar-besaran sangat berdampak pada kerusakan lingkungan. Belum lagi isu pemanasan global diakibatkan dari penggunaan energi minyak bumi, batubara dan gas (energi fosil) secara berlebihan. Sehingga makin memperkuat pendapat yang pertama bahwa dunia akan segera mengalami krisis energi.
Kemudian pendapat kedua adalah pendapat optimis, dimana mereka membantah pendapat tersebut dengan alasan bahwa pendapat akan terjadi “kiamat energi” tidak terbukti, pandangan mereka terhadap minyak bumi hanya pada persoalan ekonomi ketimbang masalah teknis menemukan cadangan baru. Penurunan harga minyak yang terjadi akhir-akhir ini secara ritel dalam priode yang cukup panjang saat ini dijadikan landasan sebagai argumentasi dari pendapat kelompok ini. Kemungkinan menemukan cadangan minyak baru masih cukup luas, kemudian ekplorasi batu bara masih minim dan cadangannya masih sangat banyak. Belum lagi persoalan pengembangan energi alternatif (non fosil) seperti Nuklir, Biomasaa, Tenaga Matahari masih di nilai lambat perkembangannya dan ini bisa menjadi peluang pengembangan energi altenatif dimasa yang akan datang.
Melihat dua pendapat tersebut, maka sangat sulit kiranya untuk diambil suatu kesimpulan akhir atau dijadikan sebagai landasan untuk menentukan arah kebijakan, karena kedua pendapat tersebut tidak menjelaskan arah kebijakan yang akan diambil dan harus dilakukan oleh pembuat kebijakan. akan tetapi dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesmpulan sementara bahwa satu sisi ketergantungan energi minyak bumi, batu bara dan gas (energi fosil) sangat tinggi, disisi lain penggunaan energi alternatif (non fosil) masih sangat minim. Oleh karena itu butuh suatu kebijakan yang konprehensif untuk mengatasi persoalan tersebut di suatu negara yang sedang maju dan berkembang seperti Indonesia.
Peranan sektor energi di Indonesia saat ini cukup signifikan, disamping untuk mendorong pertumbuhan ekonomi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu sektor energi punya pengaruh yang cukup besar terhadap pembangunan negara yang berkelanjutan. Untuk persoalan energi di Indonesia, dimana jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 237 juta jiwa maka berbanding lurus dengan energi yang dibutuhkan. Indonesia adalah sekitar 237 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen pertahun.[3] Kondisi ini berimplikasi terhadap meningkatnya kebutuhan terhadap energi nasional, seperti kebutuhan rumah tangga, transportasi dan industri. Konsumsi kebutuhan energi di Indonesia berdasarkan kebutuhan rumah tangga, transportasi dan industri berdasarkan Outlook energi Indonesia tahun 2011 yang dikeluarkan BPPT, dijelaskan bahwa konsumsi energi pada kurun waktu 2000 – 2009 meningkat dari 709,1 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 865,4 juta SBM pada tahun 2009 atau meningkat rata-rata 2,2% pertahun.[4] dan sumber energi yang digunakan sebagian besar masih bergantung dari energi yang berasal dari fosil.
Kondisi diatas menunjukan, jika melihat dari energi yang di miliki oleh Indonesia saat ini seperti minyak bumi, batubara dan gas tidak sekaya yang dibayangkan, dan dari sisi penggunaannnya maka dipastikan suatu masa energi ini akan habis jika tidak segera diantisipasi, maka bisa dibayangkan Indonesia akan mengalami krisis energi dan berdampak pada pembangunan ekonomi Indonesia dimasa depan. Dan Indonesia akan 100% impor energi untuk memenuhi kebutuhan energinya, ini akan berdampak pada kemampuan keuangan negara. Bisa dibayangkan pembangunan akan berjalan melambat karena sebagian uangnya digunakan untuk membeli energi. Dilihat dari sisi kebutuhan dan konsumsi yang terjadi dan makin meningkatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia setiap tahunnya. Menurut Hugges (2000) keberlangsungan tingkat dan kualitas aktifitas sangat tergantung kepada ketersediaan dan konsumsi energi.[5]
Untuk itu, kebijakan pengelolaan energi yang tepat saat ini adalah mendorong penggunaan energi alternatif selain minyak bumi, batu bara dan gas. Hal ini disebabkan karena potensi sumberdaya energi alternatif (panas bumi, biomassa, nuklir, angin) di Indonesia cukup berlimpah dan masih sangat minim penggunaannya. Oleh karena itu pemerintah harus konsisten untuk mengembangkan energi alternatif yang bisa diperbaharui (renewable energy) dan ramah lingkungan. Dengan membangun semua fasilitas dan infrastruktur pendukungnya.
Dalam UU No. 30 Tahun 2007 tentang energi telah ditekankan bahwa kebijakan energi nasional adalah kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan pada prinsip keadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian dan ketahanan energi. UU tersebut menekankan bahwa kemandirian dan ketahanan energi adalah mutlak untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan, oleh karena itu ini bisa dicapai dengan melakukan pengembangan energi terbarukan (non fosil).
Kebijakan pengembangan energi terbarukan yang terjadi saat ini sepertinya dilakukan dengan setengah hati, pemerintah lebih suka impor dan melakukan subsidi terhadap minyak bumi dibanding upaya mengembangkan energi terbarukan. Padahal dalam peraturan presiden No. 5/2006 tentang kebijakan energi nasional dimana dalam perpres tersebut ditekankan bahwa sasaran kebijakan energi nasional secara umum adalah tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025 dan energi mix primer yang optimal. dimana penggunaan energi fosil sudah mulai dikurangi dan ditingkatnya penggunaan energi terbarukan. Untuk itu dalam mencapai sasaran tersebut maka ada 3 (tiga)  hal penting yang menjadi perhatian dalam pereturan presiden tersebut, pertama persoalan harga energi yang diarahkan pada harga keekonomian, dimana pemerintah pusat dan daerah tetap menyediakan subsidi energi untuk masyarakat yang kurang mampu. Kedua, terkait dengan ketahanan energi maka pemerintah perlu menyediakan cadangan energi nasional. Kemudian ketiga, diversifikasi energi dalam bentuk energi baru dan terbarukan (non fosil). Dengan kata lain, indikator tersebut diharapkan memberikan dampak terhadap upaya pengembangan energi terbarukan terutama non fosil dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil saat ini.
Kenyataannnya dalam pengembangan energi terbarukan tersebut saat ini dihadapkan pada beberapa persoalan seperti harganya belum mencapai harga keekonomian sehingga investasi menjadi terhambat, karena banyak investor yang enggan menanamkan investasinya pada bidang energi terbarukan. kemampuan teknologi masih sangat terbatas sebab teknologi yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit energi terbarukan cukup mahal ditambah kemampuan sumberdaya manusia masih sangat terbatas, tumpang tindih antar kebijakan dalam pengembangan energi terbarukan juga menambah rumit persoalan pengembangan energi terbarukan saat ini. Untuk itu, perlu dilakukan upaya yang lebih revolusioner dalam mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia seperti melakukan pencabutan subsisdi terhadap minyak bumi (energi fosil) dan mulai mengalihkan subsidi tersebut ke pengembangan energi terbarukan. langkah ini diharapkan mampu memberikan iklim yang kondusif terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Oleh karena itu, tidak optimalnya kebijakan pengembangan energi terbarukan merupakan tanggung jawab pemerintah selaku pembuat kebijakan. Karena bagaimanapun pemerintah ingin agar tujuan kebijakan tersebut tercapai sesuai yang diharapkan. Oleh sebab itu, kepentingan pemerintah adalah  mengawal proses itu dengan baik. Dan jika gagal dalam pencapaian tujuan maka untuk kepentingan inilah evaluasi kebijakan perlu dilakukan. (samoedra wibawa, 1994).[6]
Dengan kata lain, upaya evaluasi terhadap kebijakan energi nasional yang ada saat ini berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai, sasaran yang spesifik dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Untuk mendorong kesejahteraan rakyat. Sehingga dari evaluasi tersebut bisa menjelaskan seberapa jauh kebijakan mendekati tujuannya.mengingat persoalan energi kedepan akan sangat berpengaruh terhadap kondisi pertumbuhan perekonomian.

[1] Sumber : Yusgiantoro, Purnomo: Ekonomi Energi, Teori dan Praktek
[2] Sumber : http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2012/03/07/7725.html
[3] Sumber : http://sp2010.bps.go.id/
[4] Outlook Energi Indonesia 2011, Energi masa depan disektor transportasi dan ketenaga listrikan BPPT
[5] Sumber : Hugges, Getting more from less – A review of progress on energy efficiency and renewable energy initiatives in new Zealand, parliamentary commissioner for the environment wellington, 2000 dikutip dari Budiarto, Rachmawan, kebijakan energi : menuju system energi yang berkelanjutan, samudera biru, 2011
[6] Wibawa, samudra, dkk, evaluasi kebijakan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1994

Tinggalkan komentar