OTONOMI DAERAH DAN PELUANG INVESTASI[1]
oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.[2]
LANDASAN DAN PRINSIP DASAR OTONOMI DAERAH
Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gemlobang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.
Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telah diperbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini, telah dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan ditetapkannya kedua UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada sebelumknya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 No. 38 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1974 No.3037), UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56 dan TLN Tahun 1979 No.3153), dan UU No.32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun 1956 No.77 dan TLN Tahun 1956 No.1442).
Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijkan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan paradigma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah. Prinsip-prinsip dasar itu dapat disarikan sebagai berikut.
1. Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
2. Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.
Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusatn justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.
4. Otonomi dan ‘Federal Arrangement’
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terkandung semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengan konsep pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan (unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah diatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7 UU tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusan hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama, sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya) justru ditentukan berada di kabupaten/kota.
Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, yaitu Pasal 18 ayat (8) dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”. Hanya saja perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah Perubahan UUD ini digunakan perkataan “‘memberikan’ otonomi yang luas kepada daerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 UU No.22 Tahun 1999 tertulis ‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18 ayat (8) UUD 1945 digunakan koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih harus diteliti sejauhmana kedua hal ini dapat dinilai mencerminkan kekurangcermatan para anggota Badan Pekerja MPR dalam perumusan redaksi, atau memang hal itu dirumuskan dengan kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangan daerah dalam rangka kebijakan otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintah pusat kepada daerah[3], dan bahwa pengertian pertahanan dan keamanan yang berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR No. /MPR/2000 memang telah dipisahkan secara tegas, merupakan urusan-urusan yang berbeda, yaitu antara peran tentara dan kepolisian[4].
Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubungan antara pusat dan daerah tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahan Gubernur, dan hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten serta kota tidak lagi bersifat subordinatif, melalinkan hanya koordinatif. Elemen hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal ini dan ditetapkannya prinsip kekuasaan asli atau sisa yang berada di daerah kabupaten/kota merupakan ciri-ciri penting sistem federal. Karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun struktur organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita juga mengadopsi pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federal arrangement’.
Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah-daerah sudah seharusnya menyadari hal ini, sehingga pelaksanaan otonomi daerah perlu segera diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihak yang bersikap skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula lain sehubungan dengan gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya juga menyadari adanya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut. Hanya dengan keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala perubahan struktural yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi penuh menyukseskan agenda otonomi daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasi penuh itu pulalah kita akan dapat menyukseskan agenda otonomi daerah ini, sehingga dapat terhindar dari malapetaka yang jauh lebih buruk berupa disintegrasi kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan
Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum. Dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah daya jangkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secara akademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai ‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, pada pokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-norma hukum adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat desa itu sendiri.
Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa. Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat. Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara seperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ ini sejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘state and civil society’ yang telah kita kembangkan dalam gagasan masyarakat madani.
Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan fungsi-fungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanya fungsi-fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yang tetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau kekuasaan negara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat tumbuh berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk menjadi bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.
Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadi urusan masyarakat perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusan dimaksudkan untuk mendorong kemandirian dan keprakarsaan masyarakat sendiri, bukan dimaksudkan untuk melepas beban dan tanggungjawab pemerintah karena didasarkan atas sikap yang tidak bertanggungjawab ataupun karena disebabkan ketidakmampuan pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pelepasan urusan juga tidak boleh dilakukan tiba-tiba tanpa perencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai yang pada gilirannya justru dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda penguatan sektor masyarakat secara keseluruhan.
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH
1. Pembagian, Pembentukan dan Susunan Daerah
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah propinsi, kapupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom. Daerah propinsi di samping memiliki status sebagai daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi. Sedangkan daerah kabupaten dan daerah kota sepenuhnya berkedudukan sebagai daerah otonom, yang menurut ketentuan UU No.22/1999 diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, dalam ikatan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penting untuk diperhatikan bahwa berdasarkan Pasal 3 UU No.22/1999, yang dimaksud sebagai wilayah daerah propinsi tidak saja mencakup wilayah darat, tetapi juga wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Dengan demikian, wilayah perbatasan antar daerah propinsi ini perlu diadakan pengaturan lebih lanjut, karena di masa yang akan datang dapat saja timbul permasalahan perbatasan wilayah, terutama berkenaan dengan batas perairan.
Sampai tahun 1998, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi ke dalam 27 daerah propinsi. Untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai demokratisasi dan pemekaran wilayah, maka bersamaan dengan berpisahnya Timor Timur dari Republik Indonesia, sejak tahun 1999 telah dibentuk pula beberapa propinsi baru, yaitu daerah propinsi Maluku Utara dan 2 propinsi tambahan di Irian Jaya. Akan tetapi, setelah terbentuknya Pemerintahan Kabinet Persatuan di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid, pemekaran propinsi Irian Jaya menjadi tiga propinsi ditunda pelaksanaannya, sehingga jumlah propinsi masih tetap 27 buah, yaitu dikurangi Timor Timur dan ditambah propinsi Maluku Utara.
Pada tahun 2000 ini, telah diagendakan akan terbentuk pula 2-4 propinsi baru, yaitu propinsi Banten (Jawa Barat), propinsi Bangka Belitung (Sumatera Selatan), propinsi Riau Kepulauan (Riau), dan propinsi Tomini (Sulawesi Utara). Di antara ketiga propinsi baru tersebut, yang paling cepat akan mendapatkan keputusan final nampaknya adalah daerah propinsi Banten. Sementara itu, beberapa daerah kabupaten dalam satu propinsi juga mengalami pemekaran, penciutan wilayah ataupun pemindahan wilayah ke daerah propinsi baru. Karena itu, dalam waktu dekat, kita belum dapat menentukan jumlah secara persis daerah-daerah kabupaten, daerah kota dan daerah propinsi seluruh Indonesia.
Semua daerah itu, baik berbentuk propinsi ataupun kabupaten dan kota, dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Pembentukan, nama, batas, dan ibukota daerah yang bersangkutan ditetapkan dengan Undang-Undang. Sedangkan perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah, perubahan nama daerah serta perubahan nama dan pemindahan ibukota daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Daerah-daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah dan dapat pula dihapus dan/atau digabung dengan daerah lain, karena pertimbangan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Syarat-syarat pembentukan daerah, kriteria penghapusan, penggabungan dan pemekaran daerah ditetapkan dengan PP, sedangkan penghapusan, penggabungan dan pemekaran daerah seperti dimaksud di atas ditetapkan dengan UU.
Yang juga penting untuk diperhatikan dalam perumusan UU No.22 Tahun 1999 tersebut adalah dihilangkannya istilah Tingkat I dan Tingkat II untuk propinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, hubungan yang bersifat hirarkis di antara daerah-daerah tersebut secara vertikal ditiadakan sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu daerah propinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota, masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarkis satu sama lain.
2. Kewenangan Daerah
Berdasarkan Pasal 7 UU No.22/1999, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali 5 bidang kewenangan yang dikecualikan, yaitu dalam politik luar negeri, pertahanan-keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (8) Perubahan Kedua UUD 1945, kewenangan yang dikecualikan itu dirinci menjadi 6 bidang, yaitu:
-
Politik luar negeri.
-
Pertahanan.
-
Keamanan.
-
Peradilan.
-
Moneter dan Fiskal.
-
Agama.
Pemisahan bidang pertahanan dan keamanan itu dikaitkan dengan pemisahan organisasi ABRI menjadi TNI dan POLRI yang berdasarkan Ketetapan MPR No. /MPR/2000 ditegaskan bahwa TNI menjalankan fungsi pertahanan, sedangkan POLRI menjalankan fungsi keamanan. Di samping kelima atau keenam bidang tersebut, kewenangan yang juga dikecualikan menurut ketentuan Pasal 7 UU No.22/1999 juga meliputi kewenangan (I) perencanaan nasional dan (ii) pengendalian pembangunan nasional secara makro, (iii) dana perimbangan keuangan, (iv) sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, (v) pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, (vi) pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, (vii) konservasi, dan (viii) standarisasi nasional. Selain dari yang dikecualikan tersebut di atas, sepenuhnya merupakan kewenangan daerah masing-masing, yaitu daerah kabupaten dan kota serta daerah propinsi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan.
Segala kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi ditentukan harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai pula dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan. Dengan demikian, pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya mengalihkan beban dan tanggungjawab ke daerah tetapi juga mengalihkan berbagai kewenangan dan hak-hak yang dikuasai oleh pusat kepada daerah. Bahkan, untuk melaksanakan agenda otonomi tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat daerah diberdayakan dengan dukungan fasilitas dan dana yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut sebagaimana mestinya.
Dalam rangka kewenangan propinsi, dapat pula dikemukakan bahwa kewenangan sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Kewenangan propinsi sebagai wilayah administratif mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Sedangkan selain dari itu, maka dapat dikatakan bahwa kewenangan pemerintahan dan kewenangan dalam pelaksanaan tugas-tugas pembangunan seluruhnya berada di tangan daerah kabupaten dan daerah kota.
Ketentuan demikian ini, jika dikaitkan dengan teori mengenai kekuasaan sisa dalam sistem federasi dan konfederasi, dibandingkan dengan sistem negara kesatuan, dapat dikatakan bahwa sistem yang dianut dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah sistem federasi. Karena kekuasaan asal pada pokoknya berada di kabupaten dan kota, sedangkan kewenangan di tingkat pemerintah pusat dirumuskan secara rinci, persis seperti pembagian kekuasaan dalam pengaturan konstitusi di lingkungan negara-negara federasi dan konfederasi. Dalam UU No.22/1999 tersebut, kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota justru ditentukan mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti tercantum dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9 UU tersebut. Padahal, dalam sistem negara kesatuan, biasanya justru kewenangan pemerintah daerah itulah yang dirinci sedangkan kekuasaan yang tidak dirinci dianggap dengan sendirinya merupakan kewenangan pemerintah pusat (residual power). Namun, dalam ketentuan di atas, kewenangan pusatlah yang dirinci, sedangkan sisanya dianggap merupakan kewenangan daerah.
Daerah ditentukan berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah di wilayah laut, meliputi:
-
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
-
pengaturan kepentingan administratif;
-
pengaturan tata ruang;
-
penegakan peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat; dan
-
bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU No.22/1999, sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi. Sedangkan wilayah duapertiga sisanya menjadi wilayah kewenangan atau wilayah koordinasi Pemerintah Pusat. Di samping itu, ada pula bidang-bidang yang terinci yang ditentukan wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yaitu meliputi kewenangan di bidang-bidang:
-
Pekerjaan umum.
-
Kesehatan.
-
Pendidikan dan kebudayaan.
-
Pertanian.
-
Perhubungan.
-
Industri dan Perdagangan.
-
Penanaman Modal.
-
Lingkungan Hidup.
-
Pertanahan.
-
Koperasi, dan
-
Tenaga Kerja.