Otonomi Daerah

OTONOMI DAERAH DAN PELUANG INVESTASI[1]

oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.[2]

LANDASAN DAN PRINSIP DASAR OTONOMI DAERAH
            Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gemlobang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.
Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telah diperbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.
            Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini, telah dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan ditetapkannya kedua UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada sebelumknya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 No. 38 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1974 No.3037), UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56 dan TLN Tahun 1979 No.3153), dan UU No.32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun 1956 No.77 dan TLN Tahun 1956 No.1442).
            Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijkan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan paradigma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah. Prinsip-prinsip dasar itu dapat disarikan sebagai berikut.
1.     Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional
            Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
            Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian.
            Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
2.     Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
            Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
            Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.
            Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusatn justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.
4. Otonomi dan ‘Federal Arrangement’
            Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terkandung semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengan konsep pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan (unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah diatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7 UU tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusan hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama, sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya) justru ditentukan berada di kabupaten/kota.
            Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, yaitu Pasal 18 ayat (8) dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”. Hanya saja perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah Perubahan UUD ini digunakan perkataan “‘memberikan’ otonomi yang luas kepada daerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 UU No.22 Tahun 1999 tertulis ‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18 ayat (8) UUD 1945 digunakan koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih harus diteliti sejauhmana kedua hal ini dapat dinilai mencerminkan kekurangcermatan para anggota Badan Pekerja MPR dalam perumusan redaksi, atau memang hal itu dirumuskan dengan kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangan daerah dalam rangka kebijakan otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintah pusat kepada daerah[3], dan bahwa pengertian pertahanan dan keamanan yang berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR No.   /MPR/2000 memang telah dipisahkan secara tegas, merupakan urusan-urusan yang berbeda, yaitu antara peran tentara dan kepolisian[4].
            Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubungan antara pusat dan daerah tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahan Gubernur, dan hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten serta kota tidak lagi bersifat subordinatif, melalinkan hanya koordinatif. Elemen hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal ini dan ditetapkannya prinsip kekuasaan asli atau sisa yang berada di daerah kabupaten/kota merupakan ciri-ciri penting sistem federal. Karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun struktur organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita juga mengadopsi pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federal arrangement’.
            Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah-daerah sudah seharusnya menyadari hal ini, sehingga pelaksanaan otonomi daerah perlu segera diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihak yang bersikap skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula lain sehubungan dengan gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya juga menyadari adanya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut. Hanya dengan keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala perubahan struktural yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi penuh menyukseskan agenda otonomi daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasi penuh itu pulalah kita akan dapat menyukseskan agenda otonomi daerah ini, sehingga dapat terhindar dari malapetaka yang jauh lebih buruk berupa disintegrasi kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan
            Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum. Dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah daya jangkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secara akademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai ‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, pada pokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-norma hukum adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat desa itu sendiri.
            Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa. Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat. Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara seperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ ini sejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘state and civil society’  yang telah kita kembangkan dalam gagasan masyarakat madani.
            Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan fungsi-fungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanya fungsi-fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yang tetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau kekuasaan negara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat tumbuh berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk menjadi bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.
            Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadi urusan masyarakat perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusan dimaksudkan untuk mendorong kemandirian dan keprakarsaan masyarakat sendiri, bukan dimaksudkan untuk melepas beban dan tanggungjawab pemerintah karena didasarkan atas sikap yang tidak bertanggungjawab ataupun karena disebabkan ketidakmampuan pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pelepasan urusan juga tidak boleh dilakukan tiba-tiba tanpa perencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai yang pada gilirannya justru dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda penguatan sektor masyarakat secara keseluruhan.
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH
1.     Pembagian, Pembentukan dan Susunan Daerah
            Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah propinsi, kapupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom. Daerah propinsi di samping memiliki status sebagai daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi. Sedangkan daerah kabupaten dan daerah kota sepenuhnya berkedudukan sebagai daerah otonom, yang menurut ketentuan UU No.22/1999 diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, dalam ikatan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Penting untuk diperhatikan bahwa berdasarkan Pasal 3 UU No.22/1999, yang dimaksud sebagai wilayah daerah propinsi tidak saja mencakup wilayah darat, tetapi juga wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Dengan demikian, wilayah perbatasan antar daerah propinsi ini perlu diadakan pengaturan lebih lanjut, karena di masa yang akan datang dapat saja timbul permasalahan perbatasan wilayah, terutama berkenaan dengan batas perairan.
            Sampai tahun 1998, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi ke dalam 27 daerah propinsi. Untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai demokratisasi dan pemekaran wilayah, maka bersamaan dengan berpisahnya Timor Timur dari Republik Indonesia, sejak tahun 1999 telah dibentuk pula beberapa propinsi baru, yaitu daerah propinsi Maluku Utara dan 2 propinsi tambahan di Irian Jaya. Akan tetapi, setelah terbentuknya Pemerintahan Kabinet Persatuan di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid, pemekaran propinsi Irian Jaya menjadi tiga propinsi ditunda pelaksanaannya, sehingga jumlah propinsi masih tetap 27 buah, yaitu dikurangi Timor Timur dan ditambah propinsi Maluku Utara.
            Pada tahun 2000 ini, telah diagendakan akan terbentuk pula 2-4 propinsi baru, yaitu propinsi Banten (Jawa Barat), propinsi Bangka Belitung (Sumatera Selatan), propinsi Riau Kepulauan (Riau), dan propinsi Tomini (Sulawesi Utara). Di antara ketiga propinsi baru tersebut, yang paling cepat akan mendapatkan keputusan final nampaknya adalah daerah propinsi Banten. Sementara itu, beberapa daerah kabupaten dalam satu propinsi juga mengalami pemekaran, penciutan wilayah ataupun pemindahan wilayah ke daerah propinsi baru. Karena itu, dalam waktu dekat, kita belum dapat menentukan jumlah secara persis daerah-daerah kabupaten, daerah kota dan daerah propinsi seluruh Indonesia.
            Semua daerah itu, baik berbentuk propinsi ataupun kabupaten dan kota, dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Pembentukan, nama, batas, dan ibukota daerah yang bersangkutan ditetapkan dengan Undang-Undang. Sedangkan perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah, perubahan nama daerah serta perubahan nama dan pemindahan ibukota daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
            Daerah-daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah dan dapat pula dihapus dan/atau digabung dengan daerah lain, karena pertimbangan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Syarat-syarat pembentukan daerah, kriteria penghapusan, penggabungan dan pemekaran daerah ditetapkan dengan PP, sedangkan penghapusan, penggabungan dan pemekaran daerah seperti dimaksud di atas ditetapkan dengan UU.
            Yang juga penting untuk diperhatikan dalam perumusan UU No.22 Tahun 1999 tersebut adalah dihilangkannya istilah Tingkat I dan Tingkat II untuk propinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, hubungan yang bersifat hirarkis di antara daerah-daerah tersebut secara vertikal ditiadakan sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu daerah propinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota, masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarkis satu sama lain.
2.     Kewenangan Daerah
            Berdasarkan Pasal 7 UU No.22/1999, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali 5 bidang kewenangan yang dikecualikan, yaitu dalam politik luar negeri, pertahanan-keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (8) Perubahan Kedua UUD 1945, kewenangan yang dikecualikan itu dirinci menjadi 6 bidang, yaitu:
  1. Politik luar negeri.
  2. Pertahanan.
  3. Keamanan.
  4. Peradilan.
  5. Moneter dan Fiskal.
  6. Agama.
            Pemisahan bidang pertahanan dan keamanan itu dikaitkan dengan pemisahan organisasi ABRI menjadi TNI dan POLRI yang berdasarkan Ketetapan MPR No.    /MPR/2000 ditegaskan bahwa TNI menjalankan fungsi pertahanan, sedangkan POLRI menjalankan fungsi keamanan. Di samping kelima atau keenam bidang tersebut, kewenangan yang juga dikecualikan menurut ketentuan Pasal 7 UU No.22/1999 juga meliputi kewenangan (I) perencanaan nasional dan (ii) pengendalian pembangunan nasional secara makro, (iii) dana perimbangan keuangan, (iv) sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, (v) pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, (vi) pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, (vii) konservasi, dan (viii) standarisasi nasional. Selain dari yang dikecualikan tersebut di atas, sepenuhnya merupakan kewenangan daerah masing-masing, yaitu daerah kabupaten dan kota serta daerah propinsi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan.
Segala kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi ditentukan harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai pula dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan. Dengan demikian, pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya mengalihkan beban dan tanggungjawab ke daerah tetapi juga mengalihkan berbagai kewenangan dan hak-hak yang dikuasai oleh pusat kepada daerah. Bahkan, untuk melaksanakan agenda otonomi tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat daerah diberdayakan dengan dukungan fasilitas dan dana yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut sebagaimana mestinya.
            Dalam rangka kewenangan propinsi, dapat pula dikemukakan bahwa kewenangan sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Kewenangan propinsi sebagai wilayah administratif mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Sedangkan selain dari itu, maka dapat dikatakan bahwa kewenangan pemerintahan dan kewenangan dalam pelaksanaan tugas-tugas pembangunan seluruhnya berada di tangan daerah kabupaten dan daerah kota.
            Ketentuan demikian ini, jika dikaitkan dengan teori mengenai kekuasaan sisa dalam sistem federasi dan konfederasi, dibandingkan dengan sistem negara kesatuan, dapat dikatakan bahwa sistem yang dianut dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah sistem federasi. Karena kekuasaan asal pada pokoknya berada di kabupaten dan kota, sedangkan kewenangan di tingkat pemerintah pusat dirumuskan secara rinci, persis seperti pembagian kekuasaan dalam pengaturan konstitusi di lingkungan negara-negara federasi dan konfederasi. Dalam UU No.22/1999 tersebut, kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota justru ditentukan mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti tercantum dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9 UU tersebut. Padahal, dalam sistem negara kesatuan, biasanya justru kewenangan pemerintah daerah itulah yang dirinci sedangkan kekuasaan yang tidak dirinci dianggap dengan sendirinya merupakan kewenangan pemerintah pusat (residual power). Namun, dalam ketentuan di atas, kewenangan pusatlah yang dirinci, sedangkan sisanya dianggap merupakan kewenangan daerah.
            Daerah ditentukan berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah di wilayah laut, meliputi:
  1. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
  2. pengaturan kepentingan administratif;
  3. pengaturan tata ruang;
  4. penegakan peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat; dan
  5. bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
            Kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU No.22/1999, sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi. Sedangkan wilayah duapertiga sisanya menjadi wilayah kewenangan atau wilayah koordinasi Pemerintah Pusat. Di samping itu, ada pula bidang-bidang yang terinci yang ditentukan wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yaitu meliputi kewenangan di bidang-bidang:
  1. Pekerjaan umum.
  2. Kesehatan.
  3. Pendidikan dan kebudayaan.
  4. Pertanian.
  5. Perhubungan.
  6. Industri dan Perdagangan.
  7. Penanaman Modal.
  8. Lingkungan Hidup.
  9. Pertanahan.
  10. Koperasi, dan
  11. Tenaga Kerja.
Dengan diaturnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten dan kota seperti tersebut di atas, maka tidak perlu lagi ada persoalan mengenai apakah otonomi akan diberikan di tingkat propinsi ataupun di tingkat kabupaten. Karena, baik propinsi maupun kabupaten dan kota sama-sama merupakan daerah otonom. Jika sasaran otonomi di kabupaten dan kota belum dapat dilaksanakan atau belum dapat dicapai, maka koordinasi dan pelaksanaan otonominya untuk sementara waktu dipusatkan di propinsi yang bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan dan mempersiapkan segala sesuatunya sampai daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan siap melaksanakan otonomi yang diharapkan. Dengan demikian, keseluruhan jajaran birokrasi pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah, dapat mengalami penataan ulang untuk memenuhi tuntutan aspirasi reformasi, dan mendekatkan jarak pelayanan yang makin efisien dan transparan kepada masyarakat serta sekaligus dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan otonomi masyarakat dalam berhadapan dengan organisasi pemerintahan.
Selain itu, Pemerintah Pusat juga dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka perbantuan (medebewin) disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia dengan kewajiban menyampaikan laporan mengenai pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah Pusat. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Lembaga Eksekutif di Daerah
            Di daerah-daerah, ditentukan adanya lembaga eksekutif pemerintah dan lembaga legislatif yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Di daerah propinsi, pihak pemerintah dipimpin oleh Gubernur yang mempunyai kedudukan sebagai Kepala Daerah dan sekaligus sebagai Kepala Wilayah mewakili Pemerintah Pusat. Sedangkan di daerah kabupaten, pihak pemerintah dipimpin oleh Bupati dan di daerah kota dipimpin oleh Walikota yang berkedudukan sebagai Kepala Daerah Otonom.
            Baik Gubernur di daerah propinsi maupun Bupati dan Walikota di daerah kabupaten dan kota mempunyai kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan kedudukan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing untuk daerah propinsi ataupun untuk daerah kabupaten dan daerah kota. Karena itu, dalam UU No.22/1999, istilah Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II tidak digunakan lagi agar tidak mengesankan adanya hirarki antar daerah yang lebih tinggi di atas daerah yang tingkatnya lebih rendah.
            Setiap daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah yang berdasarkan asas desentralisasi merupakan Kepala Eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah propinsi disebut Gubernur yang karena jabatannya juga merupakan Wakil Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menurut asas desentralisasi, Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi. Tetapi dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Gubernur mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan tugas dan kewenangannya kepada Presiden Republik Indonesia.
            Ketentuan pertanggungjawaban Gubernur tersebut berbeda dari mekanisme pertanggungjawaban Bupati dan Walikota yang sepenuhnya mempunyai kedudukan sebagai Kepala Daerah dalam rangka asas desentralisasi. Dengan demikian, kedudukan Bupati dan Walikota berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota, dan tidak bertanggungjawab kepada Gubenur. Karena Bupati dan Walikota bukanlah wakil pemerintah propinsi di kabupaten dalam rangka asas dekonsentrasi.
            Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara bersamaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Rapat Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPRD yang bersangkutan, dengan cara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Syarat-syarat untuk dapat dipilih dan ditetapkan menjadi Kepala Daerah adalah:
1)     bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2)     setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pemerintah yang sah.
3)     tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang menghianati NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dinyatakan dengan Surat Keterangan Ketua Pengadilan Negeri.
4)     berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan/atau sederajat.
5)     berumus sekurang-kurangnya tiga puluh tahun.
6)     sehat jasmani dan rohani.
7)     nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya.
8)     tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana.
9)     tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri.
10) mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.
11) menyerahkan daftar kekayaan pribadi, dan
12) bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.
            Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak melalui pemilihan, ditetapkan menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD, dan disahkan dengan Keputusan Presiden. Kewajiban Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota, berkewajiban untuk:
1)     Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaomana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2)     Memagang teguh Pancasila dan UUD 1945.
3)     Menghormati kedaulatan rakyat.
4)     Menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
5)     Meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat.
6)     Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, dan
7)     Mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai Peraturan Daerah bersama dengan DPRD.
            Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan atau sewaktu-waktu atas permintaan DPRD. Di samping itu, Kepala Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri sekurang-kurang sekali setahun atau sewaktu-waktu atas permintaan oleh Presiden atau apabila dipandang perlu oleh Kepala Daerah. Laporan Bupati atau Walikota kepada Presiden, melalui Menteri Dalam Negeri, disampaikan dengan memberikan tembusan kepada Gubernur sebagai Kepala Daerah Propinsi.
4. Lembaga Legislatif di Daerah
            Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk, baik di daerah propinsi maupun di daerah kabupaten dan kota. Pada umumnya, dewan perwakilan ini disebut sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legilsatif, dan karena itu biasa disebut dengan lembaga legilsatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya haruslah dicatat bahwa fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada di tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungan dengan Presiden. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR ditentukan memegang kekuasaan membentuk UU, dan dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kewenangan menetapkan Peraturan Daerah, baik daerah propinsi maupun kabupaten, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD sebagaimana ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah.
            Oleh karena itu, sesungguhnya, DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan sehari-hari, lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif. Memang benar, seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RI menurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat ini berhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR berhak memajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula DPRD, baik di daerah propinsi maupun daerah kabupaten/kota, berdasarkan ketentuan UU No.22/1999, berhak mengajukan rancangan Peraturan Daerah kepada Gubernur. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota.
Oleh karena itu, fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur atau Bupati/Walikota. Bahkan dalam UU No.22/1999 Gubernur dan Bupati/Walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui, menolak ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan Peraturan Daerah.
5. Kepala Desa dan Parlemen Desa
            Salah satu materi penting yang diatur dalam UU No.22/1999 adalah soal keberadaan organisasi pemerintahan desa yang dalam UU tersebut ditegaskan terdiri atas Kepala Desa dan Lembaga Perwakilan Rakyat Desa. Sebagaimana dikemukakan di atas, semangat yang terkandung dalam UU No.22/1999 menentukan keberadaan desa sebagai ‘self governing community’ yang bersifat otonom atau mandiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa daya jangkau organisasi negara secara struktural hanya sampai pada tingkat kecamatan, sedangkan di bawah kecamatan dianggap sebagai wilayah otonom yang diserahkan pengaturan dan pembinaannya kepada dinamika yang hidup dalam masyarakat sendiri secara otonom. Semangat demikian ini telah dikukuhkan pula dalam perubahan UUD 1945 yang memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembangnya hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
            Karena itu, tradisi pemerintahan desa seperti yang hidup di Sumatera Barat, misalnya, yang dikenal dengan nama ‘sistem pemerintahan nagari’ dapat dihidupkan kembali penataannya sebagaimana mestinya. Saya sendiri telah menyampaikan berbagai masukan kepada Gubernur Sumatera Barat berkenaan dengan persiapan-persiapan yang menyangkut hal itu, termasuk dalam rangka penyusunan rancangan Peraturan Daerah berkenaan dengan soal ‘pemerintahan nagari’. Demikian pula dengan sistem marga di Sumatera Selatan ataupun sistem pemerintahan desa di daerah-daerah lain dapat dikembangkan secara beragam sesuai tradisi budaya masing-masing dan perkembangan kebutuhan yang ada setempat-setempat. Dengan diakuinya keragaman itu, maka baik bentuk, nama maupun fungsi organisasi pemerintah desa dan badan perwakilan rakyat desa dapat beragam dari satu desa ke desa lain, ataupun daerah satu daerah ke daerah lain. Bahkan materi hukum adat yang ditetapkan berlakunya dapat pula beragam dari satu daerah ke daerah lain. Keragaman sistem keorganisasian dan sistem perundangan setempat-setempat itu dapat ditampung dengan mengukuhkan peranan Peraturan Desa yang ditentukan dan ditetapkan oleh Kepala Desa dengan persetujuan badan perwakilan desa. Oleh karena itu, penting bagi setiap daerah untuk mengatur mekanisme pembuatan Peraturan Desa tersebut sebagai pedoman kerja legislatif di desa-desa.
INVESTASI DI DAERAH OTONOM: Peluang dan Tantangan
            Seperti dikemukakan di atas, berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi daerah tidak saja tergantung kepada kemauan kuat aparatur pemerintahan pusat yang diharapkan menyerahkan sebagian kewenangannya kepada aparatur pemerintahan di daerah, melainkan terletak pada keprakarsaan dan kesungguhan aparatur di daerah sendiri untuk memberi arti dan meningkatkan kualitas kemandirian daerah itu sendiri. Bahkan, sejatinya kebijakan otonomi daerah itu harus pula diartikan terletak pada kemandirian, keprakarsaan, dan kreatifitas warga masyarakat daerah sebagai keseluruhan. Artinya, otonomi daerah itu bermakna ganda, yaitu otonomi Pemerintah Daerah dari Pemerintah Pusat, dan juga otonomi masyarakat di daerah itu dari Pemerintah Daerahnya. Karena itu, agenda otonomi daerah haruslah diimbangi dan dibarengi oleh partisipasi dari bawah, baik dalam arti formal oleh institusi pemerintahan di daerah maupun dalam arti substansial oleh para pelaku ekonomi dan institusi masyarakat di tingkat lokal.
Namun, karena keterbatasan ‘resources’ atau sumber-sumber pendukung, baik berupa akses informasi, teknologi, dan jangkauan pasar maupun ekspertise di tingkat lokal, partisipasi dari bawah itu memerlukan dukungan sumber-sumber pendukung dari luar. Kebutuhan akan dukungan itu dapat diulas sebagai berikut.
1.      Kebutuhan Modal
Salah satu sumber yang penting dalam hal pendanaan dan permodalan adalah pinjaman uang atau dukungan investor dari luar daerah dan bahkan dari luar negeri. Pemupukan modal melalui tabungan masyarakat di daerah selama ini dapat dikatakan belum cukup berhasil. Di samping karena kendala yang bersifat sosio ekonomis, karena tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, pada umumnya masyarakat di daerah-daerah, terutama di lingkungan pedesaan masih menghadapi kendala budaya yang belum mendorong meningkatnya ‘bank-minded’ untuk menunjang kegiatan ekonomi sehari-hari. Lembaga perbankan masih dianggap sesuatu yang asing, dan karena itu kebiasaan menabung di bank belum cukup meluas ke semua lapisan masyarakat. Bahkan, masih banyak warga masyarakat kita yang takut ‘menginjakkan kakinya’ di halaman kantor Bank di daerahnya. Di pihak lain, fungsi koperasi yang diharapkan dapat menjadi sarana pemupukan modal bersama juga tidak cukup berkembang dengan baik. Akibatnya, pemupukan modal di daerah-daerah relatif sangat terbatas, dan mempengaruhi dinamika kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Karena itu, setiap daerah sangat membutuhkan investor yang datang dari luar.
2. Kebutuhan Teknologi
Soal kedua yang dibutuhkan oleh masyarakat di daerah-daerah adalah penguasaan ketrampilan teknis dan penggunaan teknologi yang tepat dan berguna untuk meningkatkan nilai tambah produksi para pelaku ekonomi, terutama di kalangan para petani, nelayan, pengrajin, industriawan, dan pedagang di daerah-daerah. Karena tingkat pendidikan yang rendah ataupun karena pendidikan yang diikuti kurang relevan dengan kebutuhan sehari-hari, perluasan kesadaran mengenai pentingnya teknologi dalam kegiatan perekonomian rakyat juga berjalan sangat lambat. Padahal, perkembangan produk asing-asing yang sarat teknologi terus menerus membanjiri pasar lokal, dapat menyebabkan makin meluasnya sikap pragmatis di kalangan konsumen lokal, sehingga warga masyarakat di daerah-daerah cenderung berkembang menjadi sekedar konsumen produk luar daerah atau bahkan produk asing yang banyak tersedia di pasaran. Karena itu, perlu ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya teknologi di kalangan masyarakat.
3. Kebutuhan Tenaga Terampil dan SDM Berkualitas
Soal lain juga juga menghambat adalah soal tenaga trampil di daerah-daerah yang sangat dirasakan kurang. Seperti tersebut di atas, sebagian terbesar persoalan ini timbul karena pendidikan yang dikembangkan di daerah kurang relevan dengan kebutuhan setempat. Akibatnya, investasi dengan maksud mendorong roda perekonomian di daerah juga terhambat oleh kurangnya tenaga trampil. Kalaupun ada industri yang dibangun di suatu daerah maka biasanya tenaga kerjanya didatangkan dari daerah lain atau bahkan dari propinsi lain. Kenyataan ini malah sering menimbulkan permasalahan sosial yang lebih berat lagi, dimana kehadiran suatu usaha industri yang mengekploitasi sumber-sumber alam setempat tetapi tidak kurang dirasakan manfaat ekonomisnya oleh warga masyarakat setempat.
4. Mobilisasi Tenaga Ahli Pendamping
Kata kunci untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut di atas, sebenarnya, berkaitan erat dengan dukungan tenaga ahli dan pemenuhan kebutuhan untuk akses informasi yang luas, baik yang berkaitan dengan akses pasar, akses modal, akses teknologi, maupun akses mengenai sumber-sumber bahan baku dan lain-lain sebagainya. Karena itu, di setiap daerah kabupaten yang dewasa ini tengah berkembang makin otonom, perlu dikembangkan upaya-upaya untuk memobilisasi tenaga ahli yang selama ini berpusat di sekitar wilayah kota-kota propinsi, dan upaya-upaya untuk membangun sistem jaringan informasi penunjang.
Sebagai akibat diterapkannya kebijakan otonomi daerah, maka daerah-daerah kabupaten di seluruh Indonesia akan memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan dan mengatur sendiri dinamika kehidupan masyarakat di daerahnya. Sebagian besar kewenangan itu dipegang dan ditentukan oleh para pejabat di daerah ataupun para politisi di lingkungan DPRD setempat. Akan tetapi, pelaksanaan kekuasaan yang besar itu sangat membutuhkan dukungan teknis para ahli di bidangnya yang biasanya berkumpul di kota-kota propinsi yang selama masa Orde Baru kurang terbiasa untuk memikirkan masalah-masalah di lapisan bawah. Para pakar dan ilmuwan di daerah, sebagai akibat orientasi pendidikan nasional selama 50 tahun terakhir cenderung terjebak dalam idealisme vertikal, sehingga sebagian terbesar di antara mereka cenderung memberikan perhatian yang lebih besar ke atas daripada ke bawah.
Oleh karena itu, diperlukan suatu gerakan mobilisasi besar-besaran agar para pakar itu mulai turun ke bawah memikirkan, membantu dan mendampingi para penentu kebijakan di daerah serta warga masyarakat daerah pada umumnya untuk membangkitkan gairah ekonomi setempat. Untuk itu, disarankan agar di setiap kabupaten segera dapat membentuk ‘consulting agency’ yang dapat berperan aktif dalam memberikan konsultasi dan jasa layanan kepakaran, baik kepada para pejabat setempat maupun kepada warga masyarakat yang bermaksud meningkatkan produktifitas kerjanya guna mendorong pertumbuhan ekonomi setempat. Kegiatan konsultan lokal ini dapat dikembangkan melalui jaringan forum kepakaran yang dapat dinamakan Majelis Kajian Pembangunan Daerah. Majelis ini diharapkan mengembangkan kegiatan lembaga konsultasi yang sekaligus berfungsi mendampingi masyarakat dan memberikan layanan konsultasi kepada pemerintah setempat.
Agen konsultan lokal ini penting untuk mengantisipasi jangan sampai jaringan konsultasi di daerah dikuasai oleh pakar-pakar atau perusahaan konsultan dari luar yang tidak akan menumbuhkan keprakarsaan dan kemandirian dari bawah. Bahkan, jika nantinya, setiap kabupaten dapat mengusahakan pinjaman-pinajam luar negeri sendiri di bawah koordinasi pemerintah pusat, bukan tidak mungkin masuknya modal asing itu ke daerah-daerah, akan diiringi pula oleh tenaga-tenaga atau lembaga-lembaga konsultan asing merambah sampai ke daerah-daerah kabupaten. Jika itu terjadi, maka dinamika perekonomian di daerah-daerah hanya akan menjadi objek pencarian lapangan kerja bagi para konsultan dari kota-kota besar dan bahkan para konsultan asing, sedangkan masyarakat lokal kabupaten yang bersangkutan hanya berperan sebagai penonton belaka atau menjadi konsumen atau bahkan hanya menjadi pekerja teknis yang melayani kebutuhan para konsultan asing tersebut.
5.      Akses Informasi dan Sistem Jaringan Informasi
            Hal kedua yang juga penting untuk mendukung fungsi kepakaran atau fungsi dampingan para pakar lokal itu adalah dikembangkannya sistem jaringan informasi lokal. Kata kunci persoalan di daerah adalah informasi dan akses kepada informasi, baik informasi berkenaan dengan permodalan, teknologi, bahan baku, pasar dan pemasaran maupun berkenaan dengan perkembangan kebijakan yang penting untuk mendukung proses pembangunan di daerah-daerah. Memang benar, di setiap kabupaten terdapat Kantor Statistik. Bahkan pegawai statistik daerah ada di setiap kecamatan. Akan tetapi, fungsi mereka selama ini hanya melayani kebutuhan Pemerintah Pusat untuk menghimpun informasi dalam rangka perumusan kebijakan di tingkat nasional. Paling rendah, kebijakan yang dirumuskan dengan memanfaatkan informasi atau data yang dihimpun di daerah-daerah itu hanya sampai di tingkat propinsi. Lebih dari itu, biasanya informasi atau data yang dihimpun itu sendiri, karena skalanya bersifat masif dan nasional, biasanya didasarkan atas metode ‘sampling’ yang dijeneralisasikan untuk kepentingan nasional atau paling-paling untuk kepentingan propinsi. Akibatnya, di tiap-tiap kabupaten tidak tersedia data dan informasi yang akurat dan menyeluruh mengenai keadaan nyata yang ada di masing-masing daerah kabupaten itu yang justru sangat diperlukan untuk merumuskan kebijakan setempat ataupun untuk pengambilan keputusan bagi kepentingan para pelaku ekonomi di daerah-daerah.
Misalnya, di tiap-tiap kabupaten belum dapat ditemukan dengan mudah data atau informasi mengenai produk-produk ataupun komoditi-komoditi hasil pertanian, perkebunan, kerajinan, kelautan ataupun lainnya yang dapat diunggulkan di daerah setempat. Juga tidak tersedia data yang akurat mengenai kualitas sumberdaya manusia di daerah yang bersangkutan untuk mendukung sesuatu ide pembentukan usaha industri tertentu, ataupun mengenai data topografi pertanahan setempat yang layak untuk komoditi perkebunan tertentu, dan lain-lain sebagai. Oleh karena itu, bersamaan dengan dikembangkannya lembaga konsultan di tingkat lokal, perlu dipikirkan pula untuk mengembangkan suatu jaringan sistem dan sentra-sentra informasi unggulan lokal yang dapat kita namakan SIMPUL (Sentra atau Sistem Informasi Masyarakat untuk Pengembangan Unggulan Lokal). Melalui sentra-sentra semacam ini, semua informasi mengenai unggulan lokal dapat dihimpun, diolah dan dipasarkan, baik untuk kepentingan masyarakat maupun untuk kepentingan pemerintah dalam menentukan kebijakan ataupun memutuskan sesuatu kegiatan usaha produktif tertentu di daerah. Bahkan, jaringan informasi semacam ini dapat pula dikembangkan dengan dukungan teknologi informasi internet, sehingga jaringan antar daerah dapat segera terbentuk dan melayani kebutuhan pencari informasi dari mana-mana, termasuk terutama para calon investor yang dapat diharapkan datang dari mana saja.
Dengan demikian, kebutuhan akan investor dari luar daerah ataupun dari luar negeri sekalipun dapat dengan lebih mudah diharapkan di masa-masa yang akan datang. Karena sesungguhnya, investor itu ibarat semut, yang dengan sendirinya tanpa diundangpun akan datang sendiri bilamana mereka mengetahui ada gula di suatu kabupaten tertentu yang dapat mendatangkan keuntungan. Apalagi, jika gula yang ada di daerah kabupaten itu ternyata belum pernah dijamah orang, sudah tentu akan banyak semut yang datang berduyun-duyun menghampiri. Setiap daerah sudah pasti sangat membutuhkan dukungan investasi dari luar. Akan tetapi, kebanyakan investor belum menyadari pentingnya peranan daerah dalam era otonomi daerah dewasa ini. Sebagian sebabnya mereka juga kurang mengetahui informasi yang sebenarnya mengenai keadaan di daerah-daerah itu. Bahkan banyak juga di antara para calon investor itu yang masih dihantui oleh ketakutan mengenai citra ketidakamanan di daerah-daerah. Semua ini kata kuncinya adalah informasi dan jaringan informasi yang sangat penting artinya, baik bagi orang luar yang menaruh minat ke daerah yang bersangkutan, ataupun bagi warga masyarakat daerah itu sendiri untuk memperluas akses kepada berbagai kemungkinan sumber informasi dari luar.
6. Peluang untuk Para Investor
            Harus diakui, sampai sekarang memang belum banyak calon investor yang menyadari bahwa peluang yang tercipta di balik kebijakan otonomi daerah sekarang sebenarnya sangat besar dan terbuka. Sebagian investor terutama asing masih berpikir dengan pola pemikiran lama. Jika ingin menanam modal, maka langkah pertama yang dilakukan adalah datang berkunjung ke Presiden atau Wakil Presiden. Kemudian berkunjung ke para Menteri dan para pejabat terkait. Setelah itu datang ke Gubernur. Setelah berhenti dan tidak ada lagi kelanjutannya karena bermacam-macam sebab dan alasan. Sebagian terbesar sebabnya ialah karena para calon investor itu tidak berhasil menemukan sesuatu bidang usaha yang konkrit dan sungguh-sungguh menjanjikan keuntungan dengan tingkat risiko yang rendah. Mereka belum menyadari bahwa untuk berinvestasi di Indonesia, peluang bisnis tidak hanya terdapat di Jakarta dan kota-kota besar. Mulai sekarang, para calon investor dapat langsung berhubungan dengan Bupati yang ada di daerah-daerah yang merupakan pemegang kekuasaan yang paling riel di tingkat lokal.
            Untuk itulah maka di daerah-daerah itu perlu segera dibentuk lembaga konsultan tingkat lokal serta sentra-sentra informasi unggulan lokal seperti saya kemukakan di atas. Kedua fungsi informasi dan kepakaran ini dapat bekerjasama bahu membahu dengan para Bupati dalam memajukan perekonomian dan mempromosikan keunggulan-keunggulan yang terdapat di daerahnya. Dengan cara itu, Insya Allah, kita tidak saja menata kembali kelembagaan di daerah-daerah, tetapi juga menumbuhkan kemandirian, keprakarsaan, dan produkfitas ekonomi di daerah-daerah itu dengan dukungan investasi yang dapat didatangkan dari mana saja. Hanya dengan keprakarsaan dan kemandirian dari bawah itulah kita dapat memberi arti kepada pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang menjamin integrasi bangsa kita dari kemungkinan perpecahan dan kemandekan peranan pemerintahan dalam menjamin kesejahteraan rakyat.

[1] Disampaikan dalam ‘Government Conference’ tentang “Peluang Investasi dan Otonomi Daerah” yang diadakan di Jakarta, 29-30 September 2000.
[2] Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[3] Perumusan kata ‘memberikan’ dalam pasal ini tidak bersifat deklaratif sebagaimana lazimnya dalam perumusan norma hukum dasar dalam konstitusi. Karena itu, jika pengertian pemberian otonomi itu ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan kepada daerah, maka berarti konsep kekuasaan asli dibedakan dari konsep kekuasaan sisa yang merupakan ciri sistem federal seperti yang dikemukakan di atas.
[4] Konsep pertahanan-keamanan sebelum ditetapkannya Ketetapan MPR No.   /MPR/2000 dilaksanakan secara bersamaan oleh TNI dan POLRI. Ketika UU No.22/1999 disahkan, organisasi TNI dan POLRI juga belum terpisah dalam satu kesatuan ABRI. Karena itu, dapat saja timbul penafsiran bahwa terhadap gagasan untuk melakukan desentralisasi fungsi kepolisian sebagai penegak hukum dan keamanan serta ketertiban masyarakat dapat saja dikembangkan, meskipun fungsi pertahanan-keamanan oleh TNI tetap merupakan urusan pemerintah pusat. Tetapi, setelah ditetapkannya Perubahan Kedua UUD 1945, dimana perkataan ‘pertahanan, keamanan’ dipisahkan dengan koma, maka baik fungsi pertahanan oleh TNI maupun urusan keamanan oleh POLRI ditentukan mutlak sebagai kewenangan pemerintah pusat.

Tinggalkan komentar